MANCHUNIAN

MANCHUNIAN

Selasa, 19 April 2011

Asal Usul Suku Baduy

Menyimak cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda
I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam )

dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

II. Berasal dari Banten Girang/Serang

Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).

III. Berasala dari Suku Pangawinan ( campuran )

Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar .

Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.

Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari :

1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.

2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).

3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Adapun sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.


Sumber:http://id.shvoong.com/social-sciences/1925540-asal-usul-suku-baduy/#ixzz1JwhXTJcQ



Bersama Suku Baduy
Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah Ciboleger.
Inilah desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan umum dari Pandeglang (Jawa Barat). Dari sini baru kita bisa memasuki wilayah suku Baduy Luar.

Sebelumnya harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro. Ada beberapa Jaro yang mempunyai tugas masing-masing. Kita harus melapor dengan jaro yang tugas membina hubungan dengan kebudayaan luar atau di sebut juga Jaro Pulung.
Wilayah Baduy meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu sungai Cibaduy.
Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya.
Baduy luar atau biasanya mereka menyebutnya Urang Panamping. Cirinya, selalu berpakaian hitam.

Rumah mereka di dirikan diatas batu (ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri di atas batu)
Umumnya orang Baduy luar sudah mengenal kebudayaan luar (diluar dari kebudayaan Baduy-nya sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca dan menulis, bisa berbahasa Indonesia. Mata pencaharian mereka bertani.

Gula aren adalah hasil dari mereka. Didaerah sana memang banyak terdapat pohon aren.


Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam.
Sedangkan suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Selain itu tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Badui Dalam. Sampai tulisan ini saya tulis, saya sendiri belum pernah masuk ke wilayah Baduy Dalam, foto-foto yang saya dapat hanya sebatas di wilayah Baduy Luar, karena untuk mencapai wilayah Baduy dalam harus diperlukan penunjuk jalan dan ijin dari pimpinan adatnya serta harus mematuhi ketentuan yang sangat berat seperti di larang membawa kamera.



Orang Baduy dalam terkenal teguh dalam tradisinya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereka buat sendiri dengan tangan. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang, jadi mereka tidak pernah menggunakan kendaraan. Masyarakat luar sulit sekali masuk wilayah Baduy dalam apa lagi mengambil fotonya. Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri. Kepercayaan mereka adalah Sunda Wiwitan, mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda.


Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Jembatan ini dibuat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
KOMENTAR: suku baduy sangat kental dengan agama islamnya..dan penghasilannya banyak berasal dari pertanian padi
sumber:
http://members.tripod.com/st_benny/perjalanan/badui/suku_badui.htm

Senin, 18 April 2011

Suku Sunda


Wanita Sunda pemetik teh di masa Hindia Belanda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme danHindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Dalam urusan-urusan nasional, tidak banyak peran penting yang dimainkan oleh etnis Sunda. Walaupun peristiwa-peristiwa penting sering terjadi di Jawa Barat, namun sedikit sekali dari peristiwa tersebut yang diperankan oleh orang-orang Sunda. Dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya sedikit orang Sunda yang menjadi pemimpin politik, sastrawan, dan pengusaha. Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi dan artis dari etnis Sunda, yang berkiprah di tingkat nasional.[2]

Etimologi
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur(sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak jaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaituKerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.


Peta linguistik Jawa Barat
Bahasa

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata.[3] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek Sunda-Priangan, dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, bahasa Sunda - terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap dominan.
Profesi
Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, penambang pasir, dan berladang.[4] Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah. Di wilayah perkotaan, banyak orang Sunda yang berprofesi sebagai buruh pabrik, pegawai negeri, dan pembantu rumah tangga. Profesi pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Mereka banyak menjual aneka perabotan rumah tangga.
KOMENTAR: mayoritas suku sunda adalah beragama islam, namun tidak banyak juga yang masih mempercayai hal hal supranatural.suku sunda berada di sebalah jawa barat.penghasilan mereka banyak dari pertanian dan pertambangan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda

Rabu, 13 April 2011

Suku Dayak

SUKU DAYAK

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau kalimantan lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai dimasa sekarang yaitu setelah berkembangnya agama Islam di Borneo, sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Seperti sebutan Bidayuh dari bahasa kekeluargaan Dayak Bidayauh itu sendiri yaitu asal kata "Bi" yang bearti "orang" dan Dayuh yang bearti " Hulu" jadi Bidayuh bearti "orang hulu". Sebutan Ot Danum yang berasal dari bahasa mereka sendiri yaitu asal kata "Ot" yang bearti hulu dan Danum yang bearti "air" jadi Ot Danum bearti Hulu Air ( sungai ) yaitu orang-orang yang bermukim di daerah hulu. Sebutan Biaju dari bahasa Biaju ( Lama / kuno ) sendiri yang berasal dari kata "Bi" yang bermakna "Orang" dan kata "Aju / Ngaju" yang bermakna hulu jadi Biaju bermakna "orang hulu". Di daerah sarawak Malaysia suku Dayak rumpun Apokayan ( Kayan, Kenyah dan Bahau ) sering disebut "Orang Ulu" ini juga merupakan pe-melayu-an dari kata " Apokayan" itu sendiri. Sementara itu warga Dayak Kendayan setelah kedatangan Islam oleh orang luar juga sering disebut "orang hulu" dan diterjemahkan ke dalam bahasa mereka sendiri dengan kata " Daya". Jadi sangat jelas bahwa sebutan Dayak ini adalah sebutan kolektif karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa, yang kehidupannya sangat erat berhubungan dengan sungai ( Budaya Sungai ), hal ini disebabkan karena setelah kedatangan Islam hampir seluruh perkampungan orang-orang Borneo asli yang masih berbudaya asli ( Dayak ) banyak terdapat tidak di pesisir pantai laut lagi ( meski di beberapa wilayah masih terdapat di pesisir pantai Laut ), melainkan di sepanjang daerah aliran sungai ( DAS ). Kata Dayak sendiri selain berasal dari bahasa Dayak Kendayan, juga berasal dari bahasa Dayak kenyah dan Dayak lainnya, yakni dari istilah kata " daya" yang memiliki dua arti yakni "daerah hulu" dan "kekuatan". ketika ada orang lain yang menanyai seseorang yang hendak ke daerah hulu dimasa lampau dengan kalimat dalam bahasa Dayak Kendayan seperti ini: Ampus Ka mane kau? maka akan di jawab oleh orang yang di tanyai sebagai berikut: Aku Ampus ka daya...yang artinya " pergi ke mana kau? aku pergi ke hulu". Dimasa dahulu dalam naskah-naskah Jawa kuno pulau kalimantan disebut "Nusa Kencana" yang bearti pulau emas, namun oleh orang Jawa kebanyakkan lebih sering disebut "Tanah Sabrang" penghuninya adalah "Orang Sabrang" sebutan orang Dayak oleh orang Jawa di masa lampau. Jadi jelaslah bahwa istilah "Dayak" bukan berasal dari bahasa Jawa yang bermakna sebagai sesuatu yang compang-camping, urakan dan sejenisnya. istilah "ndayakan" dalam bahasa Jawa sendiri tergolong masih baru yaitu terbentuk dimasa penjajahan Belanda. Istilah ini di populerkan oleh para prajurit Belanda yang berasal dari orang Jawa yang ketika mereka datang ke pedalaman jauh kalimantan ( Yang sangat jauh dari pantai ) mereka melihat banyak orang Dayak yang berpakaian seadanya yang terbuat dari kulit kayu atau kain yang sudah compang-camping, lusuh dan urakan. suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni Rumpun atau stanmenras Klemantan alias Kalimantan, Stanmenras Iban, Stanmenras Apokayan yaitu Dayak Kayan,kenyah dan bahau, Stanmenras Murut, Stanmenras Ot Danum-Ngaju dan Stanmenras Punan. Penduduk Madagaskar adalah keturunan para pelaut Dayak Ma'anyan dimasa lampau yaitu dimasa Islam belum datang ke Indonesia. mereka masih menggunakan bahasa Dayak Ma'anyan (Bahasa Barito) yang bercampur dengan sedikit bahasa jawa dan melayu.

ASAL MULA
Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut berasal dari China selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewatiHainan, Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq ) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa ( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[5] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun1608).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.

Dayak pada masa kini


Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut,Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Borneo. sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok proto melayu ( Moyang Dayak yang berasal dari yunnan ) dari yunnan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
 Dayak Mongoloid
 Malayunoid
 Autrolo-Melanosoid
 Dayak Heteronoid

Contoh Budaya Dayak
Rumah Panjang
Hampir semua Orang Dayak kecuali Dayak punan dan Dayak Meratus, mempunyai rumah panjang di masa lampau. Rumah panjang merupakan gabungan atau gandengan rumah-rumah tunggal warga Dayak dalam satu desa. Rumah panjang di bangun agar persatuan atau kekuatan dari warga desa terkonsentrasi, ketika menghadapi serangan dari luar kampung atau luar kelompok ( Kayau ) atau serangan binatang buas. Rumah panjang di dibangun dalam rupa rumah panggung yang memanjang. Semua material rumah panjang dibuat dari kayu keras seperti kayu ulin atau belian. Mulai dari sirap ( atap kayu ),tiang, rangka, dinding, lantai hingga tangga. Dimasa kini rumah panjang yang tersisa sudah sangat sedikit. Umumnya rumah panjang di bongkar karena warga penghuninya memilih membangun rumah tinggal tunggal. Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Borneo. Berdasarkan data pengukuran karbon yang terdapat pada fosil tengkorak yang pernah ditemukan di gua Niah Sarawak Malaysia [8] [9] diketahui bahwa tengkorak yang sangat mirip dengan tengkorak orang Dayak Punan tersebut telah berusia mencapai 40.000 tahun. Jadi dengan berasumsikan bahwa tengkorak tersebut benar-benar tengkorak Dayak punan, maka jelas bahwa Dayak Punan merupakan salah satu puak nenek moyang Bangsa Dayak Borneo setelah berasimilasi dengan puak nenek moyang Dayak yang berasal dari Yunnan. Dengan mengetahui betapa tuanya keberadaan Dayak Punan di borneo ( bahwa mereka datang jauh sebelum peradaban manusia planet bumi mengenal logam ), maka dapat dimaklumi jika mereka kurang memilikiperadaban desa dan lebih menyukai cara-cara hidup nomaden, karena itu rumah mereka dibangun seadanya ( umumnya hanya berupa gubuk ). Meskipun demikian sampai detik ini hanya segelintir warga Dayak punan saja yang masih senang hidup nomaden, sementara kelompok mayoritas telah membangun pemukiman seperti masyarakat Dayak Lain. Pada masyarakat Dayak Meratus ( Bukit ) rumah mereka di kenal dengan sebutan Balai. Istilah suku Dayak Bukit menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah "bukit" berarti "bagian bawah dari suatu pohon" alias pangkal pohon, yang juga bermakna "orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya". Kata Bukit yang bermakna " Pangkal " ini jelas menunjukan asal mereka yaitu berpangkal dari Banua bukit di Kalimantan Barat jadi pada dasarnya istilah Bukit ini tidak bearti Bukit / gunung, hanya saja sudah telanjur di maknai dengan arti orang gunung oleh orang luar. Dayak Bukit merupakan masyarakat yang masih memegang adat tradisi budaya Banjar lama. Suku Banjar sendiri jika diperhatikan dari bahasanya merupakan campuran antara bahasa Dayak Biaju, Dayak Maanyan, bahasa Jawa dan Bahasa DayakKendayan, Tetapi oleh sebagian kecil kelompok masyarakat Banjar yang fanatik menyatakan bahwa moyang mereka adalah melayu sumatera hal ini dapat di fahami karena akibat pengaruh Islam ( bahwa di masa lampau agama Islam oleh orang Dayak di sebut agama Melayu ). Jika kita runut kembali sejarah terbentuknya suku Banjar yang bermula SejakKerajaan Banjar menjadi Islam, disitu akan kita ketahui bahwa Raja Banjarmasin yang menganut agama Islam pertama yaitu pangeran Suriansyah (seorang Blasteran Jawa-keling ) beliau di angkat menjadi raja oleh dua belas orang Demang Dayak Ngaju dan patih Masih, yang dikatakan sebagai seorang Patih melayu. Harap di ingat dan di fahami bahwa PangeranSuriansyah sendiri pada waktu itu tidak pernah memerintahkan agar rakyatnya yang terdiri atas orang Biaju, orang Maanyan, orang Kendayan yang dikira melayu ( mengingat pada waktu itu istilah suku Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk [10], dan seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa nama salah satu Banua Dayak KendayanKalimantan Barat adalah Banua bukit jadi jelas bahwa keturunan masyarakat Dayak Kendayan yang berasal dari Banua bukit inilah yang dikenal sebagai Dayak Bukit / Meratus dikalimantan selatan itu )[11]. dan sekelompok kecil orang jawa untuk mengubah nama suku-nya. Patih melayu? Dalam sejarah di ketahui bahwa Gelar patih pertamakali atau mayoritas merupakan Gelar orang-orang penting atau raja-raja Dayak Kalimantan Barat. Di sumatra sendiri tidak ada gelar patih. Dimasa lalu yaitu masa dimana kepercayaan adat ( Kaharingan ), budaya Kayau dan budaya rumah Panjang ( Budaya Kayau dan Rumah Panjang muncul secara bersamaan tujuan rumah panjang ini di buat agar kekuatan terkonsentrasi untuk menghadapi kayau ) belum di kenal oleh bangsa Dayak. para pelaut Dayak Kendayan telah menyusuri pantai-pantai pulau Borneo baik ke arah utara maupun ke arah selatan. Pelaut Dayak Kendayan yang sampai ke utara Borneo membangun pemukiman di daerah sarawak timur dan Brunei sekarang ini, keturunannya di kenal dengan sebutan suku Dayak Kedayan. sementara yang menyusuri pantai ke arah selatan borneo membangun pemukiman di tengah-tengah Dayak Biaju / Ngaju, orang Dayak Kendayan ini masih memakai Bahasa Dayak Kendayan. Karena Bahasa Dayak kendayan mirip dengan bahasa melayu, oleh orang Ngaju di kira orang Melayu ( mengingat pada waktu itu istilah Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk). Dan Patih Masih adalah satu-satunya petinggi Dayak Kendayan di tanah rantau di daerah itu. Jadi pada dasarnya warga yang didefenisikan sebagai melayu oleh orang Ngaju itu tidak lain dan tidak bukan merupakan keturunan para pelaut atau perantau Dayak Kendayan yang tidak kembali. Dan mengembangkan adat tradisi serta bahasa Dayak Kendayan yang sampai saat ini dapat disaksikan pada keturunannya yang tidak mau menganut Islam, yang di sebut suku DayakMeratus / Bukit. Dan Bahkan penamaan sebuah sungai besar di daerah Kalimantan Tengah yang oleh masyarakat Dayak Biaju sering disebut batang Biaju Kecil, dengan namasungai Kapuas, juga merupakan nama pemberian oleh para pelaut atau perantau Dayak Kendayan ( karena waktu pertamakali mereka datang, nama sungai tersebut tidak diketahui oleh mereka ), sama seperti nama sungai besar di daerah asalnya yaitu sungai kapuas di kalimantan Barat. Intinya bahwa suku Banjar merupakan keturunan Blasteran antaraDayak Kendayan dengan Dayak Biaju, Dayak Maanyan dan sedikit pendatang Jawa.

Budaya Telinga Panjang
Di masa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban dan Dayak Punan saja, sementara pada masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan. Apakah Masyarakat Dayak lain tidak punya budaya ini? Sejujurnya hampir semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini hanya saja sudah lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan arab serta China atau etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang meninggalkan budaya ini di masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang. Pada masyarakat Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu misalnya, dari cerita orang tua di kampung Tititareng kecamatan Menyuke darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang masih terdapat seorang nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan Nenek tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat Dayak rumpun Apokayanmasih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini, Jika kita perhatikan bahwa kebanyakan sesepuh adat atau orang yang dituakan atau orang-orang penting dalam strata sosial adat masyarakat Dayak rumpun apokayan ini kebanyakan adalah kaum wanita. Kaum wanita umumnya dikenal cenderung sangat teguh mempertahankan kebiasaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat ketimbang kaum pria, apalagi jika tradisi tersebut sudah dianggap sebagian dari adat yang harus dilestarikan, maka sudah tentu akan di pertahankan, dan terutama jika para orang penting yang umumnya kaum wanita tersebut selalu menganjurkan agar kaum wanita tetap memanjangkan telinganya. Namun meski demikian seiring perkembangan jaman hal tersebut akhir-akhir ini nampaknya sudah berada pada kondisi yang kritis dimana banyak kaum wanita masyarakat Dayak rumpun apokayan ini meninggalkan budaya telinga panjang dengan cara memotongnya.
Budaya Tatto


Motif bunga terong, motif tato para panglima Dayak.
Tatto pada masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang secara langsung memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik kaum pria maupun kaum wanita sama-sama mempunyai tatto. Sementara motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan strata sosial yang berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan orang-orang penting seperti para temenggung, para Baliatn, para Demang dan para Panglima perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah banyak ditinggalkan, dengan berbagai alasan, meski cukup banyak juga generasi Dayak yang sadar untuk terus mengembangkannya.
Kayau
Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah Dayak Kendayan ). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar suku seperti perang dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan beberapa waktu yang lalu, yang korbannya tidak pandang bulu apakah seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok musuh. Kayau tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah pasukan Kayau yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa silam Kayau umumnya dilakukan terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya. Peristiwa Kayau yang terekam sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kendayan ) Kalimantan Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah, meskipun cerita yang beredar di kalangan masyarakat DayakKendayan dimasa kini menyebutkan bahwa nama Biaju ini sering di katakan sebagai Dayak Bidayuh sungkung, dan hal ini diperparah oleh para penulis buku-buku tentang sejarahKalimantan Barat yang menerima begitu saja cerita dalam Masyarakat tanpa ditelaah lebih lanjut dan bahkan beberapa penulis dengan gampangnya menyebutkan bahwa Dayak Biaju ini punya pulau tersendiri di luar Borneo hanya karena mendengar cerita rakyat yang mengatakan bahwa mereka datang memakai Ajong / Kapal, padahal sebenarnya satu pulau denganDayak Kendayan hanya saja untuk sampai ke daerah asalnya memang melalui sungai dan laut. Hal ini terjadi ditengarai oleh awalan kata Biaju dan Bidayuh yang sama-sama diawali oleh kata "Bi" dan kedua-duanya mempunyai bunyi kata yang hampir mirip (BI-AJU dan BI-dAYUh), padahal yang namanya cerita lisan pasti cukup beresiko mengalami perubahan. Namun yang sangat pasti dan jelas kata Biaju secara tegas di sebutkan dalam cerita tersebut.
Senjata Sukubangsa Dayak
1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.


Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
 penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
 penguburan di dalam peti batu (dolmen)
 penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
 dikubur dalam tanah
 diletakkan di pohon besar
 dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3. wara
4. marabia
5. mambatur (Dayak Maanyan)
6. kwangkai (Dayak Benuaq)

Macam-macam suku Dayak
Dari sekian ratus sub suku dayak di antaranya adalah:
Dayak Non-Muslim
Dayak beragama Non Islam disini adalah subetnis Dayak yang kebanyakan anggota sukunya beragama Non Islam, tetapi ada juga sedikit yang beragama Islam.
 Suku Dayak Abai
 Suku Dayak Banyadu
 Suku Dayak Bakati
 Suku Dayak Bentian
 Suku Dayak Benuaq
 Suku Dayak Bidayuh
 Suku Dayak Darat:Dayak Mali
 Suku Dayak Dusun
 Suku Dayak Dusun Deyah
 Suku Dayak Dusun Malang
 Suku Dayak Dusun Witu
 Suku Dayak Kadazan
 Suku Dayak Kebahan
 Suku Dayak Kanayatn / Kendayan Kalimantan Barat
 Suku Dayak Keninjal
 Suku Dayak Kenyah
 Suku Dayak Lawangan
 Suku Dayak Maanyan
 Suku Dayak Mali
 Suku Dayak Mayau
 Suku Dayak Meratus
 Suku Dayak Mualang
 Suku Dayak Ngaju
 Suku Dayak Ot Danum
 Suku Dayak Samihim
 Suku Dayak Seberuang
 Suku Dayak Siang Murung
 Suku Dayak Tunjung
 Suku Dayak Wehea
 Suku Dayak Aoheng
 Suku Dayak Bahau
 Suku Dayak Berusu
 Suku Dayak Bisaya
 Suku Dayak Desa
 Suku Dayak Iban
 Suku Dayak Jagoi
 Suku Dayak Kantuk
 Suku Dayak Katingan
 Suku Dayak Kayan
 Suku Dayak Ketungau
 Suku Dayak Kejaman
 Suku Dayak Kenyah
 Suku Dayak Kualant
 Suku Dayak Lebang
 Suku Dayak Lun Bawang
 Suku Dayak Lundayeh
 Suku Dayak Membulu
 Suku Dayak Murut
 Suku Dayak Orung Daan
 Suku Dayak Panihin
 Suku Dayak Pesaguan
 Suku Dayak Penan
 Suku Dayak Punan
 Suku Dayak Rungus
 Suku Dayak Samanakng
 Suku Dayak Sebaruk
 Suku Dayak Selakao
 Suku Dayak Simpakng
 Suku Dayak Suhaid
 Suku Dayak Suruk
 Suku Dayak Taman
 Suku Dayak Tingalan
 Suku Dayak Undau
KOMENTAR: suku dayak adalah suku asli dari pulau kalimantan.alam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
 penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
 penguburan di dalam peti batu (dolmen)
 penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
SUMBER: WWW.google.com

Selasa, 12 April 2011

Suku Batak

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Sebagian besar orang Batak menganut agama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malimdan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Sejarah
Topografi dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Tobasekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini.[2]. Selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara Batak.[3]. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper yang diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper dari tanah Batak berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama pertanian orang Batak, di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[4]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kamper mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[5].
Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[6] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[7] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Bukit, salah satu puncak di baratDanau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[8]
Penyebaran agama


Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[9]Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan.[10] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.
Misionaris Kristen
Lihat pula: Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dariSibolga menuju pedalaman Batak.[11] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindungdan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[12]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[13].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[14]
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[15]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
 Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
 Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
 Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.


Rumah Adat Batak Toba
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Dalihan na Tolu
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru
 Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
 Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
 Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit yang ia sebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara(1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Kontroversi
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal James Stanford Raffless yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.
KOMENTAR: suku batak berasal dari tapanuli,Sumatra selatan.selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara Batak.Mayoritas suku batak adalah beragama kristen.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak